Sutradara : Peter Weir
Produser : Silver Screen Patners IV & Touchstone Pictures
Penulis : Tom Schulman
Musik : Maurice Jarre
Produksi : 1989
Durasi : 128 menit
Tell me about Freedom
Pernahkah anda berpikir hidup seperti robot? Segala hal tentang hidup anda telah teratur. Ihwal anda akan hidup seperti apa dan akan menjadi apa. Tak mempunyai hak untuk menentukan sesuatu karena terkekang oleh manusia yang lain dan sistem yang dibuatnya. Maka izinkan saya menceritakan sebuah kisah tentang beberapa orang yang mendambakan kebebasan.
Film Dead Poets Society berlatar tempat di Welton Academy, sekolah asrama pria di Amerika Serikat. Kisah ini diawali ketika Jhon Keating, guru bahasa Inggris, meminta seorang murid untuk membacakan kata pengantar di halaman sebuah buku yakni “Memahami Puisi oleh Drj. Evans Pritchard, Ph.D.” Mr. Keating berkata “ kita tidak akan memasang saluran pipa, kita akan membaca puisi, sungguh membosankan pemikiran Evans Pritchard ini. Sekarang robek paragraf itu dari buku kalian.
Menurut Mr. Keating, kita tidak bisa menjadi akademisi penilai puisi, karena puisi itu untuk dinikmati. Beliau lalu memberikan sebuah rahasia yang sangat jarang diketahui oleh orang-orang. Ceritanya terpendam jauh di palung. Begini rahasianya, kita tidak membaca dan menulis puisi sebab hal itu manis, kita membaca dan menulis puisi sebab kita merupakan anggota dari umat manusia. Dan umat manusia dipenuhi dengan gairah. Pengobatan, hukum, teknik, semua adalah pekerjaan yang mulia dan diperlukan untuk mempertahankan hidup. Tetapi puisi, ia adalah kecantikan, asmara dan cinta. Menjadi tanda bahwa kita hidup.
Gaya belajar yang diterapkan Mr. Keating tidak sejalan dengan kebijakan sekolah yang terkesan kolot dengan prinsip yakni harus mempertahankan tradisi gaya belajar yang monoton, membosankan dan kaku. Hal ini merupakan tujuan dari Welton Academy, yakni menyiapkan murid-murid untuk masuk universitas unggulan di Amerika. Maka keseharian murid di sekolah itu berjalan seperti robot yang hanya perlu diisi otaknya saja tanpa mempedulikan jiwa.
Ada seorang guru yang mengomentari cara mengajar Mr. Keating, guru itu berpendapat bahwa gaya mengajar Mr. Keating itu terlihat menarik namun menyesatkan. Bahwa untuk apa berperilaku seperti seniman layaknya Rembrandts, Shakespeares, atau Mozart, untuk apa punya pemikiran bebas di usia 17 tahun tanpa bermaksud sinis tapi realistis.
“ Tunjukan padaku hati yang tak terkekang oleh mimpi bodoh, dan aku akan menunjukan padamu seorang pria yang bahagia.” Mr. Mcallister
“ Namun hanya dalam mimpi, mereka dapat menjadi seorang pria yang benar-benar bebas. Sungguh selalu demikian dan akan terus begitu.” Mr. Keating
Menonton film ini membuat saya teringat dengan sekolah saya, karena sekolah saya juga memiliki asrama. Saat itu saya juga muak dengan sistem sekolah saya, kemuakkan itu saya lampiaskan dalam bentuk tulisan yang berjudul “ Sebagai murid kita harus nakal” heuheu. Tapi bukan nakal yang “merusak” yang saya sampaikan dalam tulisan itu, melainkan kebebasan berpikir yang ingin saya capai di sekolah.
Gaya mengajar Mr. Keating ternyata sangat menginspirasi bagi Neil Perry dan kawa-kawan untuk belajar sesuai keingian diri dan bebas berekspresi. Ada satu pepatah yang sering dilontarkan Neil dan kawan-kawan yang didapat dari Mr. Keating yakni “Carpe diem” artinya rebutlah hari ini diiringi dengan teriakan yawp khas suku barbar yawp yawp yawp.
Neil mempunyai cita-cita menjadi aktor namun tidak sepemikiran dengan ayahnya. Ayahnya telah mengatur sedemikian rupa jalan hidup yang akan dijalani oleh Neil, tanpa pernah bertanya apa yang menjadi keinginan anaknya yang sesungguhnya. Awalnya Neil takut untuk mewujudkan mimpinya karena terkekang oleh ayahnya. Namun semenjak bertemu Mr. Keating dengan petuahnya Carpe diem rebutlah hari ini, membangkitkan keberanian Neil untuk hidup demi mimpinya, menyelami kehidupan sampai ke sumsum tulangnya.
Pada tahun film ini diproduksi, scene dalam film tersebut bermaksud menyindir sistem pendidikan dan pola asuh orang tua terhadap anak. Dimana tidak ada tawar menawar mengenai keberlangsungan hidupnya di muka bumi, sungguh pemikiran yang ortodoks heuheu. Apakah film itu masih relevan sampai sekarang? Absolut ya film itu masih relevan hingga saat ini. Banyak sekali jalan berlubang dalam sistem pendidikan di negeri tercinta kita, begitu pula pola asuh di negeri ini.
Apakah kita bisa merubah sistem tersebut? Yang dimana seolah-olah telah mengakar dalam setiap nadi dan ruh dalam pendidikan kita. Entahlah saya sendiri juga tidak tahu, namun kita bisa bertaruh dan bertarung sisanya biarkan takdir yang menjawabnya.
Oh I live to be the ruler of life not a slave.
Tabik.
Penulis : Rizky Benang
Editor : Cici Jusnia