Seperti halnya kesehatan fisik, kesehatan mental tak boleh luput dari perhatian kita. Jika kesehatan mental terganggu, kondisi fisik serta kualitas hidup juga bisa menurun. Sehat secara mental yang dimaksud adalah keadaan di mana individu merasa sejahtera secara psikologis, emosional, maupun sosial.
Tak jarang seseorang yang sudah mencapai aktualisasi diri memiliki kesehatan mental yang bagus. Lantaran hal tersebut berpengaruh terhadap kemampuannya untuk berpikir, memiliki kepekaan, bertindak, membuat keputusan dan berinteraksi dengan orang lain.
Ironisnya banyak faktor yang dapat memengaruhi kesehatan mental yang berujung kepada gangguan mental. Mulai dari faktor keturunan, trauma masa lalu, gaya hidup yang tidak sehat, cedera pada otak hingga pelecehan seksual/fisik.
Bahkan, jika dikaitkan dengan pandemi Covid-19 saat ini, situasi tersebut dapat membuat seseorang lebih rentan mengalami gangguan terhadap mentalnya.
Data yang disampaikan oleh UNICEF, sebanyak 99% anak serta remaja (2,34 miliar di antara 186 negara) mendapatkan tekanan akibat pembatasan yang berlaku selama pandemi Covid-19. Termasuk Indonesia.
Di Indonesia, gangguan mental terkhusus pada kalangan remaja akibat pandemi Covid-19 masih tergolong relatif tinggi. Lantaran tingkat emosi yang dimilikinya belum stabil serta belum cukup baik dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Tanpa terkecuali remaja pada ranah akademisi: mahasiswa.
Masih banyak mahasiswa yang belum menyadari pentingnya menjaga kesehatan mentalnya. Acap kali mereka disibukan dengan berbagai tuntunan yang ada, mulai dari beban organisasi, jadwal kuliah hingga lingkungan sekitarnya.
Alih-alih semenjak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, hingga saat ini kegiatan perkuliahan dilakukan secara daring. Padahal sudah semestinya jika masa perkuliahan merupakan kesempatan untuk membangun sosial, mencari relasi dan juga mengembangkan diri. Tetapi karena pandemi, hal-hal tersebut menjadi sulit dilakukan karena keterbatasan interaksi sosial. Tak jarang kita menemukan remaja yang memiliki gejala tidak bersemangat, nafsu makan rendah, pola tidur berantakan, dan perasaan khawatir yang berlebihan.
Menurut penjelasan dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2019, akhir-akhir ini stress lebih sering terjadi dikarenakan beberapa hal, diantaranya ketakutan serta kecemasan mengenai kesehatan diri dan orang lain, pola tidur dan pola makan yang berubah, sulit konsentrasi, hingga menggunakan obat-obatan.
Untuk itu perubahan kesehatan mental yang berujung stress sudah sepatutnya kita waspadai. Berikut ini beberapa tips dan trik yang dapat dilakukan oleh mahasiswa untuk mengantisipasinya.
Pertama, Pendekatan Spiritual, di mana kita seharusnya senantiasa bersandar kepada Tuhan Yang Maha Esa agar membuat hati dan pikiran menjadi lebih tenang.
Kedua, Olahraga Rutin, faktanya kegiatan ini telah terbukti mampu menurunkan jumlah hormon kortisol, di mana hormon inilah yang dapat memicu stress di dalam tubuh. Tentunya olahraga yang dimaksud adalah dengan menyesuaikan kebutuhan tubuh masing-masing individu.
Ketiga, Social Support, rutin menghubungi keluarga apabila dukungan sosial belum dimiliki. Pun, jangan ragu meminta bantuan tenaga profesional seperti psikolog/psikiater apabila mendapati gejala berupa gangguan mental.
Keempat, Regulasi Diri, hal tersebut dapat membantu kita sebagai mahasiswa dalam melakukan kontrol terhadap emosi dan perilakunya di situasi apapun secara mandiri. Al- hasil kita jadi lebih mengetahui hal-hal yang dapat dikendalikan maupun yang tidak dapat kita kendalikan.
Selain itu, pihak kampus sebagai bagian dari lingkup eksternal juga harus turut andil. Misalnya dengan membuat proses pembelajaran menjadi menarik serta melakukan komunikasi dua arah. Penting juga menyediakan layanan konseling untuk kesehatan mental yang diperuntukan bagi civitas universitas pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya.
Oleh: Rahmat Hidayat
Editor: Khoirul Atfifudin