Judul: Gadis Pantai | Penulis: Pramoedya Ananta Toer | Penerbit : Lentera Dipantara | Tebal: 280 hlm | ISBN: 978-979-97312-0-3
Judul Gadis Pantai pada buku Pramoedya Ananta Toer yang menurut saya kurang menarik begitu pertama kali melihatnya. Sampai akhirnya saya ditampar ketika tamat membacanya.
Buku ini berkisah tentang roman masyarakat pada zaman ketika feodalisme masih sangat kental di tanah Jawa. Selain dijajah bangsa asing kita juga dijajah bangsa sendiri yaitu para priayi. Pada zaman feodalisme, hanya orang-orang terpilih saja yang bisa baca tulis, karena hanya mereka yang mendapatkan akses pendidikan. Dan orang yang terlahir bukan sebagai priayi, mereka hanyalah “sahaya” yang tak ada nilainya.
Tiada salah terlahir ke dunia, tapi jika terlahir sebagai orang kebanyakan “sahaya” maka itulah kesalahan Gadis Pantai yang pertama. Ia lahir dari orang kebanyakan, maka mau tak mau ia harus menjadi sahaya atau budak bagi para priayi. Dia dipaksa menikah dengan seorang Bendoro. Seorang pembesar santri setempat yang bekerja kepada Belanda sebagai administrator.
Ia menikah dengan Bendoro, tapi bukan pernikahan pada umumnya. Namun ini pernikahan untuk pemanasan Bendoro. Nikah pun bagi priayi ada pemanasannya. Jika priayi menikah dengan orang kebanyakan maka ia belum bisa disebut telah melepas perjakanya, itu hanya latihan, atau lebih tepatnya hanya sebagai pengisi kebutuhan seks semata.
Maka apa pernikahan bagi priayi yang sebenarnya? Priayi harus menikah dengan priayi lain, maka itulah pernikahan yang sesungguhnya. Mengenal feodalisme tak jauh dari kata kasta. Kasta yang berperan disini. Bahkan sebutan kepada ibu pun ada kastanya. Sebagai contoh.
“Itu anak siapa?” Emak Gadis Pantai bertanya.
“Anak majikanku, anak Bendoro” Jawab sahaya.
“Dimana emaknya?” Kata bapak Gadis Pantai
“sst, sst. Dia tak ber-emak, anak priayi ber-ibu.” Sahaya.
Dalam novel ini Pram membungkus kritik dengan cerita bukan hanya fiksi semata, melainkan sangat merepresentasikan yang terjadi pada Bumi Manusia. Dan kisah ini tak pudar oleh zaman. Pram sukses mengeritik dengan narasi yang apik dan cerita yang menggugah, seperti dialog lugu antara Gadis Pantai dan Bujang ini,
“Mengapa orang pada suka emas?” Gadis Pantai
“Karena, yak karena. Yah, apa mesti sahaya katakan? Karena dengan emas…. karena… ya, supaya dia tidak kelihatan seperti seorang sahaya, supaya tidak sama dengan orang kebanyakan” Bujang.
Seperti yang saya katakan diawal, kritikan dalam karya Pram ini tak luntur oleh zaman. Banyak orang di zaman sekarang berlomba-lomba terlihat kaya, bahkan hutang pun dilakukan demi membeli barang supaya dianggap berada.
Banyak kritikan yang dibawa oleh Pram dalam kisah ini. Seperti Pram sangat tidak setuju terkait pengekangan, karena sejatinya manusia punya hak yang sama.
Dalam buku ini, Gadis Pantai begitu terkekang semenjak Ia dibawa kawin oleh Bendoro. Gadis Pantai tak bisa berbuat apa-apa, melepaskan duka pun tidak. Dalam heningnya malam ia mengerti. Kini yang bisa Ia lakukan hanyalah mengabdi pada Bendoro, dan Bendoro itu tak lain adalah suaminya sendiri. Pada masa Kolonial itu budaya patriarki begitu kejam, kata mengabdi kepada suami tidak mempunyai esensi romantik, melainkan perbudakan dengan kedok pengabdian.
Pesan yang ingin Pram sampaikan dalam buku Gadis Pantai ini adalah bahwa Ia ingin menunjukkan kebobrokan feodalisme di Jawa. Adab dan kemanusiaan telah luntur dalam setiap sanubari insan, Pram ingin menunjukkan sisi gelap manusia yang terbungkus rapi dalam kemegahan. Tabik.
Penulis: Rizky Fajar N.A
Editor: Khoirul Atfifudin