Paguyuban Sumarah merupakan penghayatan terhadap keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengontrol pikiran, rasa, serta budi dalam satu rohani. Penghayat Paguyuban Sumarah bertujuan untuk mencapai ketenangan dan ketentraman batin.
Sumarah pertama kali lahir di Yogyakarta, pada tahun 1937. Kedatangannya diawali oleh Raden Ngabei Soekinohartono (Kino). Pada mulanya beliau menerima wahyu pada tahun 1935 dan baru mensosialisasikan 2 tahun setelahnya.
Sebagai orang yang terpilih mendapatkan wahyu, Raden Ngabei Soekinohartono tidak langsung menyebarkan ajaran tersebut, karena pada perjalanan 2 tahun sebelum paguyuban Sumarah terbentuk, Raden Ngabei Soekinohartono berusaha untuk menyelaraskan batinnya dari ambisi dan nafsu dunia.
Pada awalnya, beliau hanya mengajarkan kepercayaan tersebut ke tetangga di sekitar rumahnya. Secara perlahan, kepercayaan Sumarah akhirnya terbentuk menjadi paguyuban. Hingga sampai saat ini, anggota Paguyuban Sumarah banyak tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan penghayatnya ada juga yang berasal dari luar negeri.
Penyebaran Paguyuban Sumarah
Paguyuban Sumarah terbuka bagi semua orang, dan tidak ada paksaan untuk masuk ke dalamnya. Begitu pula penghayatan Sumarah ini tidak mengharuskan seseorang yang ingin masuk untuk mengubah kolom agama di KTP-nya. Tidak ada istilah dakwah khusus yang dilakukan penghayatnya, karena bagi mereka kesucian rohani itu adalah panggilan jiwa.
Dalam rangka mengajarkan ajaran mereka, penghayat Sumarah menggunakan medium tembang seperti sunan kalijaga sebagai bentuk pengajaran kepada orang-orang yang berminat.
Namun ketika ditanya mengenai apakah Sumarah merupakan bagian dari aliran, Kuswijoyo Mulyo yang merupakan seorang anggota paguyuban Sumarah mengatakan, tidak ada kata aliran dalam Sumarah, karena aliran itu adalah hasil ciptaan akal manusia, Tuhan tidak pernah menciptakan aliran.
Cara beribadah
Praktik ibadah yang diajarkan paguyuban Sumarah adalah sujud. Sujud sendiri diartikan sebagai bentuk berserah diri kepada Tuhan dengan khusyuk. Kekhusyuan yang dimaksud
adalah mengendapkan nafsu dari godaan-godaan dunia serta tidak mudah terpancing akan emosi.
Tidak ada ritual khusus dalam peribadatan penghayat Sumarah. Tidak membuat sesajen, tidak juga membakar dupa. Seringkali penghayat Sumarah dilabeli seperi Kejawen, padahal penghayat Sumarah dan Kejawen itu berbeda. Karena contoh perbedaan besarnya penghayat Sumarah tidak melakukan ritual seperti halnya yang dilakukan penganut kejawen.
Hamba untuk menghamba itulah istilah yang dipakai penghayat kepercayaan Sumarah untuk beribadah. Bagi pengahayat sumarah, waktu beribadah itu 24 jam dan tidak terpatok oleh waktu wajib. Meskipun mereka juga menetapkan hari kamis malam untuk berkumpul bersama, itu tidak lebih hanya untuk silaturahmi saja. Dan bukan kewajiban, karena pada dasarnya beribadah bagi mereka bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, bahkan sambil bekerja.
Meskipun mereka melakukan ibadah, penghayatnya tidak menyucikan satu atau dua hal seperti kitab suci, tempat suci, ataupun orang suci. Namun yang terpenting bagi mereka adalah hati yang suci.
Penghayat paguyuban Sumarah juga tidak mensucikan Raden Ngabei Soekihartono selaku penerima wahyu dan pelopor terbentuknya paguyuban Sumarah.
Dalam tata cara beribadahnya, mereka juga menjunjung tinggi kesetaraan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki maupun perempuan saat melakukan ibadah berjamaah. Baik antara laki- laki maupun perempuan, dua-duanya bisa menjadi pemimpin atau disebut dengan penuntun ritual.
Ketentraman batin
Rohani merupakan satu kata yang paling mencerminkan paguyuban Sumarah. Memfokuskan rohani kepada Tuhan tanpa memikirkan hal lain. Dalam istilah Jawanya disebut “Manunggaling Kawulo Gusti” yang artinya, mengingat Tuhan dan melepas sifat kemanusiaan seperti ambisi dan nafsu.
Cara penghayat paguyuban Sumarah memperoleh ketentraman batin adalah dengan menjunjung dan melakukan nilai atau wewarah yang dijunjung dalam paguyuban Sumarah.
Wewarah atau nilai yang dianut adalah, nilai keimanan, olah roso dalam rohani, sadar bahwa manusia ada yang menciptakan dan pada akhirnya akan kembali kepada sang pencipta. Hal itu tidak lantas
menjadikan pikiran manusia sebagai panglima dalam berperilaku, serta mengisi kebaikan dalam perjalanan hidup, atau dalam istilah Jawa disebut Memayu Hayuning Bawono, dengan menjaga dunia yang baik ke lebih baik lagi.
Paguyuban Sumarah juga menjunjung nilai kasih sayang yang seutuhnya dengan memberi tresno asih, termasuk kepada yang “diskriminasi.” Karena apapun yang diciptakan Tuhan itu patut dikasihi, termasuk bagian buruknya.
Menurut Ratna Prasetyawati selaku anggota paguyuban tertua, beliau mengatakan bahwa, ada panca indra yang sering kali dilupakan, yaitu rohani.
“Rohani harus senantiasa diisi untuk terhindar dari ambisi dan nafsu, berdzikir kapan saja dengan meyebut nama Allah tanpa embel-embel yang lain, itulah cara kami menentramkan hati. Bahkan kita bisa berdzikir menyebut nama Allah sembari berbincang,” imbuh Ratna.
Hari Raya
Untuk memperingati pertama kali penerimaan wahyu, ada hari besar paguyuban Sumarah setiap satu tahun sekali, yaitu pada setiap 10 September yang disebut dengan hari penyongsongan. Saat hari itu tiba, anggota paguyuban berkumpul di pendopo dan melakukan ibadah bersama dari jam delapan sampai sekitar tengah malam, dengan selalu belajar menyongsong dengan ketenangan.
Dalam perjalanan hidup manusia sebagai penghayat Sumarah, mereka memiliki misi keilahian untuk mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa. Menyucikan hati, serta menenangkan diri dan batin. Mengenai caranya, itu kembali lagi ke masing-masing individu.
(Tulisan ini merupakan hasil liputan kelompok 4 Maraton Jurnalistik pada agenda Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) 2022 Buana Pers).
Reporter: Theresia Rut Anggelang Ua
Penulis: Rizky Fajar NA dan Chika Karnelisia
Penyunting: Khoirul Atfifudin