Pariwisata di Indonesia masih menjadi hal yang urgent untuk terus dikembangkan menjadi sektor unggulan. Salah satu destinasi yang cukup unggul dibidang pariwisata ialah Kota Yogyakarta. Kota ini cukup terkenal di kalangan wisatawan baik dalam maupun luar negeri. Pun Yogyakarta juga menyediakan destinasi yang cukup komplit dengan menjulangnya Gunung Merapi di utara dan dihiasi deburan ombak pantai di selatan.

Ada salah satu destinasi wisata di Yogyakarta yang menjadi tempat wajib untuk didatangi seperti kompleks Keraton Yogyakarta dan Malioboro. Kebanyakan wisatawan luar daerah Yogyakarta acap kali mengatakan “Anda belum ke Jogja jika belum berswafoto dengan trade mark Malioboro”.

Malioboro sendiri terletak di tengah kota tepatnya berapa meter saja dari Keraton Yogyakarta dan tepat berada di Titik 0 Kilometer Kota Yogyakarta. Destinasi ini merupakan pusat wisata berbelanja bagi wisatawan yang akan mencari oleh-oleh atau souvenir khas Yogyakarta.

Sekilas tentang sejarah Malioboro,  dulunya tempat itu hanyalah sebuah jalan sepi penuh dengan pohon asem dan hanya dilewati oleh orang-orang yang akan menuju Kraton Yogyakarta. Namun, berubah ketika terjadi larangan berjualan di Kotagede untuk orang-orang Tionghoa, karena kala itu Kotagede memang tengah berkembang pesat dan merupakan pusat pemerintahan dari Kerajaan Mataram Islam. Lalu warga Tionghoa pun pindah ke kawasan Malioboro. Sehingga hal itu pun justru membuat Malioboro berkembang pesat. Kawasan ini pula menjadi kawasan bisnis yang ramai terlebih lagi didukung oleh adanya pembangunan pasar gede atau yang sekarang terkenal dengan nama Pasar Beringharjo.

Namun, masa tersebut sudah berlalu karena saat ini sudah ada perelokasian kawasan PKL Malioboro ke Teras Malioboro oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X per 01 Februari 2022. Hal ini pula dilakukan karena Pemerintah Provinsi DIY menginginkan rencana kerjasama dengan UNESCO untuk mengembalikan sumbu filosofis.

Sumbu filosofis tesebut adalah garis imajiner lurus yang menyambung Tugu-Kraton-Panggung Krapyak hingga Malioboro. Selain itu, tujuan lainnya adalah karena alasan bahwa tempat yang ditempati oleh para PKL masih merupakan kawasan pejalan kaki dan masih masuk area toko. Untuk memecahkan masalah ini Pemkot DIY merelokasikan PKL ke area Teras Malioboro yang merupakan bangunan bekas Bioskop Indra dan depan Pasar Beringharjo. Namun, perelokasian PKL ini justru bukannya semakin menguntungkan PKL malah membuat buntung para PKL dan juga jasa pendorong gerobak.

Pasca pemindahan PKL dari selasar ke Teras Malioboro membuat kondisi jalanan di sekitar Malioboro menjadi lebih lenggang. Akibat dari adanya perelokasian PKL ini pula banyak pedagang yang kontra terhadap program tersebut. Banyak pedagang yang mengeluhkan soal pendapatan yang berkurang dan bentuk bangunan dari Teras Malioboro yang dirasa tidak menguntungkan. Jika kalian mengamati, bangunan didalamnya jelas merupakan bangunan bertingkat dan terbuat dari baja ringan, kenyataannya baja ringan sendiri mudah menyerap panas matahari sehingga tentu saja suhu didalamnya menjadi sangat panas.

Menurut penulis juga, sebenarnya dengan pemindahan PKL Malioboro ke Teras Malioboro ini malah membuat daya beli pengunjung akan menurun. Karena orang yang berkunjung ke Teras Malioboro hanyalah orang-orang yang benar-benar memiliki niat datang untuk berbelanja. Tidak seperti dahulu saat PKL Malioboro ini masih ada di sepanjang jalan, orang-orang mungkin niatnya hanya untuk berjalan-jalan saja. Namun, ketika mungkin ada pedagang yang menjual sesuatu yeng mungkin menarik bagi wisatwan tersebut dan besar kemungkinan bahwa barang tersebut akan terjual.

Selain itu bangunan dari Teras Malioboro ini tidak menguntungkan bagi PKL yang direlokasi, sebab struktur bangunan ini merupakan bangunan bertingkat. Jadi bisa diasumsikan jika lapak para pedagang ini tidak akan dijamah seluruhnya oleh pengunjung. Tidak sama seperti saat sebelum perelokasian, lapak pedagang ini berbentuk linear sehingga memungkinkan untuk semua lapak pedagang akan di jamah oleh pengunjung karena mereka akan berjalan menyusuri jalan Malioboro dari utara ke selatan, atau sebaliknya.  

Permasalahan perelokasian ini juga berdampak bagi pendorong gerobak, karena biasanya mereka melakukan pekerjaan sebagai jasa dorong gerobak para PKL. Dikutip dari CNN, telah tercatat sekitar 91 pendorong harus rela kehilangan pekerjaan mereka karena jasa para pendorong gerobak ini sudah tidak dibutuhkan oleh PKL. Pun lapak mereka jualan merupakan lapak permanen sehingga tidak perlu lagi jasa pendorong gerobak yang akan menyiapkan lapak serta mengembalikan gerobak ke tempat penyimpanan.

Memang sebenarnya dengan adanya program kerjasama antara Pemerintah Kota DIY dengan UNESCO ada baiknya, karena kawasan wisata Malioboro akan diakui dunia sebagai warisan dunia tak benda dan menjadi sumber ilmu pengetahuan yang penting. Namun, dibandingkan dengan adanya dampak positif dari pengembangan kawasan wisata Malioboro justru lebih banyak memberikan dampak negatif.

Pengembangan kawasan wisata Malioboro menjadi warisan dunia tak benda yang megadang-gadangkan pengembalian sumbu filosofis kota Yogyakarta malah sangat bertentangan dengan makna sumbu filosofis. Karena dalam pemaknaan tersebut dicantumkan kesejahteraan rakyat. Namun hal itu justru bertolak belakang dengan makna itu sendiri.

Seharusnya jika memang program pengembalian sumbu filosofis ini sudah direncanakan sejak 18 tahun lalu, pemerintah semesetinya melakukan riset mengenai dampak jangka panjang bagi para pedagang dan juga pendorong gerobak. Permasalahan ini cukup krusial jika diteliti lebih dalam lagi karena memang efeknya sangat besar sekali.

Kalaupun memang pemerintah daerah telah merancang program ini dan telah melakukan survey seharusnya pendorong gerobak misalnya, turut dibantu karena kehilangan perkerjaanny. Bukan malah membiarkan begitu saja!

Penulis: Marsya Alivia Puteri

Penyunting: Khoirul Atfifudin

Sumber foto: Unplash.com