Judul: Jogja Bawah Tanah

Penulis: Agung Purwandono, dkk

Penerbit: Buku Mojok

Halaman: 208 hlm

ISBN: 978-623-7284-80-2

Sebagai orang yang suka membaca tulisan-tulisan feature (baca: ficer), buku Jogja Bawah Tanah ini cukup membawa saya terhanyut di dalam petualangan para penulisnya. Membaca buku ini, saya seperti sedang ikut menjelajahi Jogja tanpa harus mentumpukan kaki pada setiap sudut yang disinggahi oleh para penulis buku ini–meskipun, tidak semua sudut Jogja ditulis di dalam buku ini.

Buku Jogja Bawah Tanah yang ditulis oleh Agung Purwondono, dkk dengan penerbit Buku Mojok ini, mengulas tentang sudut-sudut Jogja yang (mungkin) sudah atau belum kita ketahui. Buku ini mengulas beberapa hal mengenai Jogja, yakni diantaranya adalah tentang Warung Mbah Spoed yang katanya pernah menolak seorang utusan dari kraton karena ingin memborong tempe bacem pesanan dari Sri Sultan HB IX, juga mengulik tentang Jamu Cekok yang melegenda karena katanya mengandung kesabaran.

Selain itu, ada juga tentang Kedai Rukun–cita-cita sang bapak–resep sang ibu–dan janji sang anak. Selain itu, ada juga tentang ayam goreng Mbah Cemplung yang katanya pernah menolak Bondan Winarno–si maknyus. Ada juga ulasan tentang Jogja di sepotong sayap Oliver Fried Chicken, yang katanya merupakan wujud terima kasih dari pendirinya kepada Jogja.

Selain beberapa ulasan tersebut, buku Jogja Bawah Tanah ini juga mengulas tentang Makam Banyusumurup, sebuah makam yang menjadi saksi bisu aneka intrik dari kisah kelam yang disembunyikan kerajaan Mataram Islam. Selanjutnya ada juga kisah tentang sebuah rumah yang nyempil sendirian di halaman Hotel Hyatt Jogja. Membacanya seperti sebuah gambaran pertarungan antara kapitalis borjuis versus kaum proletariat.

Ada juga ulasan tentang Pogung sebuah kawasan di utara UGM–labirin yang membuat bingung dan kepercayaan teori belok kanannya. Katanya sih kawasan Pogung ini cukup menyesatkan karena jalannya yang berbelit-belit seperti labirin. Apalagi disaat malam hari dan portal sudah ditutup–makin menantang dan menyesatkan. Tapi, dipercayai untuk bisa keluar dari kawasan Pogung yang menyesatkan itu, dianjurkan untuk harus selalu mengambil belokan kanan.

Buku Jogja Bawah Tanah juga mengulas mengenai Babarsari, kawasan yang disebut-sebut oleh sebagian masyarakat sebagai “Gotham City” (kota tempat tinggalnya superhero Batman). Sebutan ini merujuk akibat seiringnya terjadi aksi kriminalitas di kawasan tersebut. Namun begitu, nyatanya tidak ada Batman di “Babarsari Gotham City”, adanya yah penjahat jalanan yang sedang menunjukkan eksistensi diri mereka.

Dalam pandangan sendiri sebagai salah satu warga “Gotham City”–eh maksudnya warga Babarsari, sebutan ini sebenarnya menurutku merupakan sebuah kritik bermakna “kemarahan” dari masyarakat (termasuk saya)–khususnya masyarakat Jogja, seiring adanya beberapa kasus kriminalitas yang merebak di kawasan Babarsari tersebut. Hal ini berarti harus dipahami sebagai sebuah teguran yang harus didengar dan dimaknai. Artinya, siapa pun itu–menjaga ketertiban dan kedamaian serta menghormati norma-norma sosial yang ada di dalam masyarakat Jogja adalah kewajiban yang harus dijalankan dan ditegakkan secara bersama-sama.

Ulasan selanjutnya dari buku Jogja Bawah Tanah ini adalah, mengenai fenomena indekos “Las Vegas” atau biasa disebut kos LV di Yogyakarta. Disebut kos LV karena merujuk pada julukan kota Las Vegas di Amerika Serikat yang disebut sebagai “Kota Dosa”. Kos LV banyak digandrungi oleh sebagian mahasiswa di Yogykarta, karena beralasan menginginkan kebebasan dan tidak mau terikat oleh banyaknya aturan yang terlalu mengekang. Meskipun begitu, kos LV tidak selamanya bebas dari aturan. Kalaupun bebas, maka itu hanya berlaku di dalam ruang lingkup pemilik dan penghuni. Karena di luar lingkup pastinya ada norma warga sekitar yang mengikat.

Selain ulasan tentang kos LV, buku Jogja Bawah Tanah juga mengulas tentang “tak ada ruang gratis bagi anak muda di Jogja”. Hal ini dinilai sebagai salah satu faktor yang membuat aksi klitih semakin menggila di kota yang berjulukan “Jogja Istimewa” ini. Seperti yang kita ketahui bahwa klitih selalu menjadi salah satu masalah sosial yang cukup kompleks di tengah masyarakat Jogja saat ini. Dan para pelaku yang melakukan aksi klitih, hampir selalu dari kalangan anak muda. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan ruang ekspresi yang gratis bagi anak-anak muda di Yogyakarta. Apalagi masa muda adalah masa untuk menunjukkan eksistensi diri.

Buku Jogja Bawah Tanah ini juga mengulas tentang UMR Jogja dari kisah para pekerja hingga mitos biaya hidup murah. Pembahasan mengenai UMR Jogja memang selalu menjadi bahasan yang sinis dan pro kontra ditengah masyarakat Jogja, apalagi di kalangan para pekerjanya. Selain itu, anggapan bahwa biaya hidup di Jogja itu murah, sebenarnya itu hanya sebuah mitos semata. Kecuali, untuk makanan dan minuman yang bisa dikatakan di Jogja cukup murah. Namun, terlepas dari itu, hal ini masih bisa diperdebatkan.

Pada bagian 13, buku Jogja Bawah Tanah membahas tentang sejarah Lapen yang terlupakan dari Jamu di Jalan Solo hingga jadi miras oplosan. Menurut tuturan buku ini, banyak yang mengira bahwa sebutan minuman Lapen merupakan akronim dari “langsung penak” atau “langsung pening”. Namun, banyak yang tak tahu kalau asal-usul sebutan minuman Lapen, sebenarnya bermula dari sebuah spanduk titipan oleh penjual obat kuat kepada seorang penjual jamu tradisional di jalan Solo, Yogyakarta.

Dalam buku Jogja Bawah Tanah ini juga membahas tentang, “orang-orang Malioboro yang dipindahkan”. Mereka yang telah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun menjadi nadi keramaian di pusat kota Jogja itu, terpaksan harus manut dan berpindah ke tempat yang telah disiapkan oleh pemerintah. Meskipun banyak cerita sudah tergores di situ lamanya.

Ulasan terakhir dari buku Jogja Bawah Tanah ini, adalah tentang Pieter Lennon, seorang pengamen legendaris di Jalan Kaliurang. Pieter Lennon bernama lengkap Pieter Budi Yantmo. Ia sudah bergelut di dunia pengamen jalanan sejak 1984. Menjadikan John Lennon sebagai ciri khasnya, Pieter “Lennon” Budi Yantmo selalu tampil menyerupai John Lennon. Lagu The Beatles dan petikan gitar serta mainan harmonika yang apik, mengantar Pieter Lennon mengarungi sepanjang jalanan Kaliurang.

Demikian resensi tentang buku “Jogja Bawah Tanah”, sebuah buku yang menceritakan separuh dari sudut-sudut Jogja yang terlihat maupun yang tak terlihat, dan diulas dengan gaya bahasa yang ringan dan mudah dimengerti dan dipahami oleh setiap orang yang membacanya.

Penulis: Samuel Fetanin Djetul