(Sumber: Khoirul Atfifudin)

Yogyakarta, Buana Pers – Di Yogyakarta terdapat toko buku yang namanya sudah sangat moncer, bahkan menjadi salah satu toko buku online terbesar di Indonesia. Berdikari Book yang kini bermarkas di Jl. Elang Jawa No.29, Karangsari, Wedomartani, Kec. Ngemplak, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Berdikari Book mulai dirintis melalui kamar kos sejak 2014 oleh Dana Gumilar yang waktu itu statusnya masih menjadi mahasiswa. Pemilihan nama “Berdikari” adalah akronim dari “Berdiri di Kasur Sendiri”. Karena dari kos itulah segala aktivitas penjualan buku dimulai. Pun nama tersebut memiliki maksud luhur dan semangat yang tinggi.

“Awal namanya itu Buku Berdikari, terus jadi Berdikari Book dengan harapan bisa go international,” kata Dana Gumilar yang ditemui pada Rabu malam, 11 Januari 2023.

Untuk alasan kenapa Dana memilih usaha toko buku lantaran dirinya pada waktu itu suka dengan membaca buku. Faktor keterdesakan ekonomi juga memiliki peranan yang begitu penting. Karena dengan berbisnis, Dana bisa menambah pemasukan.

“Kebetulan saya pernah mencoba usaha di bidang lain (selain buku) tapi kok terasa flat, ya. Yaudah deh di buku aja. Kalau pun ngak terjual ya bisa dibaca sendiri. Terus makin kesini merasa kalo bergerak di penjualan buku adalah jalan ninjaku,” ujar owner Berdikari Book itu.

Awalnya, Berdikari Book hanya bergerak secara online untuk memfasilitasi masyarakat di daerah untuk bisa membeli buku. Namun, seiring berjalannya waktu stok buku yang dimiliki semakin bertambah sangat banyak, persisnya pada tahun 2018, Dana Gumilar akhirnya membuka toko secara offline yang dinamai sebagai Rumah Berdikari.

“Sebenarnya tempat ini awalnya tidak disetting buat toko melainkan gudang. Makanya posisi penempatan buku bukan sesuai genre melainkan penerbit. Berhubung banyak temen-temen yang pengen berkujung di Berdikari. Akhirnya kami buka toko buku offline lah. Lalu kami juga bikinin perpus dan caffe-nya.”

(Suasana di perpustakaan Berdikari Book/Sumber: Khoirul Atfifudin)

Selain menjadi toko buku, Rumah Berdikari juga memiliki perpustakaan dengan koleksi buku yang bisa dibaca ditempat dan kafe yang berada di terasnya. Ada yang unik dari kafe tersebut, di mana penamaan menunya mengambil nama-nama filsuf dan pemikir besar seperti Socrates, Plato, Sartre, Nietzche dan lain sebagainya.

“Di Berdikari memang utamanya toko buku, bukan kafe. Kafe cuma pelengkap aja.  Makanya kami mengaitkan kopi dan buku. Jadi menunya kita sesuaikan sama literasi dengan memakai nama-nama para filsuf. Dan itu terbukti bisa memantik untuk temen-temen. Ya, angeplah orang ngak tahu Sarte atau Nietzsche terus pas pesen itu barangkali menayakan tokoh itu, dan hal itu udah bagus. Paling tidak tahu namanya dulu dan harapan kami setelah itu bisa membaca karya-karyanya,” ungkap Dana. 

Pasang surut Berdikari Book; Toko buku yang turut kampanyekan membaca

(Tampilan teras depan Berdikari Book/Sumber: Khoirul Atfifudin)

Layaknya berbisnis pada umumnya, membangun toko buku tentu tidak bisa lepas dari yang namanya pasang dan surut. Bahwa dulu sebelum pandemi melanda (sebelum tahun 2020), usaha toko buku yang dilakoni oleh Dana Gumilar ini cukup mengairahkan. Bisa dikatakan toko buku ini kerap kali dijadikan rujukan oleh mahasiswa, politikus, dan pemerhati sosial.

Pun rencananya ia mau membuka cabang diluar Yogyakarta ketika 2020 lalu. Namun apalah daya, pandemi merubah itu semua. Bahkan yang dulunya memiliki tim sebanyak 18 orang, saat ini Berdikari Book cuma menyisakan tim dengan 8 orang saja.

Walau demikian, justru melalui pandemi pula, Dana selaku pendiri Berdikari Book membulatkan tekad untuk hidup dari buku. “Ok. Gue hidup dari buku nih! Kemudian kami rancang Berdikari sejauh kami bisa,” ujarnya.

Menurut pengakuan Dana, konsep yang dimiliki oleh Berdikari Book tidak sebatas menjual buku semata. Tetapi ada isu dan

 campaign yang digaungkan melalui akun sosial medianya. Itulah yang membedakan Berdikari Book dengan toko buku pada umumnya, selain berbisnis, toko buku ini ikut berkampanye perihal membaca.

Untuk campaign-nya sendiri begitu beragam. Ada “#BacaAjaDulu opini belakangan”   “Membaca Adalah Melawan”, “Sandang, Pangan, Bacaan”, “Banyak Baca Banyak Rasa”, dan “Talk Less Read More”. Pemilihan campaign tersebut memiliki makna tersendiri.

“Kalo campaign “#BacaAjaDulu opini belakangan”  itu kan yang paling utama. Mengingat sekarang ini banyak yang beranggapan bahwa membaca hanya dijadikan sebagai hobi. Sehingga kalo tidak suka membaca otomatis diganti hobi lain. Padahal membaca adalah kebutuhan primer. Kalo kita bisa memberi makan perut seharusnya kita juga punya pikiran untuk memberi makanan pikiran berupa bacaan.”

“Bahkan seringkali apa yang kita ucapkan itu lebih cepat daripada apa yang dipikirkan. Nah, kami ingin menyadarkan bahwa opini nanti dulu. Baca aja dulu. Karena setelah membaca akan banyak sekali opini yang muncul dengan lebih mawas,” imbuh Dana saat ditanya makna mengusung campaign tersebut. 

Usaha menarik minat membaca dan membeli buku

(Salah satu contoh konten interaktif di Instagram @berdikaribook/Link:
https://www.instagram.com/p/CnTa2XqB0vk/?igshid=YmMyMTA2M2Y=)

Jika kita menilik akun Instagram @berdikaribook, nyaris di setiap postingannya selalu di akhir dengan “baca selengkapanya disini”. Pun sosial media itu digunakan untuk berkomunikasi dua arah dengan netizen. Seperti contoh membuat quote plesetan dari buku guna menkontekstualkan dengan keadaan saat ini.

Menurut pengakuan Dana, perbandingan buku yang dijual oleh Berdikari Book dari tahun ke tahun berkembang secara dinamis. Kalo dulu ia hanya menjual buku yang sesuai dengan minat bacaannya seperti sejarah, sosial politik, filsafat dan lain sebagainya, kini Berdikari Book menjual beragam genre dan kategori buku. Bahkan saat ini, Berdikari Book men-stok buku secara judul dengan jumlah sekitar 15.800-an dan memiliki kurang lebih 120 kategori/genre.

Tentu semua buku yang dijual oleh Berdikari Book itu original, bukan buku bajakan. Dan ngomongin soal pembajakan buku, Dana Gumilar cukup getir dan geleng-geleng kepala  melihat hal itu. 

“Pembajakan buku termasuk pencurian hak kerja. Tetapi kami sebagai penjual buku original bisa apa dengan itu. Jadi cukup sulit untuk memberantas itu. Apalagi kita dihadapkan dengan pertentangan ekonomi mana yang lebih mahal dan murah. Sehingga itu cukup sulit untuk melawan bajakan, tapi paling tidak kami mulai dari kami sendiri dengan menjual buku-buku original,”  imbuh Dana.

Buku yang wajib dibaca semua orang sebelum mati!

(Tampilan toko buku Berdikari Book/Sumber: Khoirul Atfifudin)

Owner Berdikari Book itu juga memberikan rekomendasi buku yang menurutnya wajib dibaca sebelum mati. Kata Dana buku-buku itu antara lain, “Mahabarata Ramayana, Bhagavad Gita, Seni Memahami Hidup. Terus penting juga membaca karya-karya Nietzsche biar hidup ngak banyak penyesalan. Baca karya-karyanya Budi Hardiman, karya-karyanya Voltaire, Sun Tzu dan tidak kalah penting dialognya Socrates kepada murid-muridnya sebelum ia dieksekusi mati. Itu sih kira-kira buku yang wajib dibaca sebelum mati.”

Melihat banyaknya rekomendasi buku yang diberikan oleh Dana tersebut, saat ditanya apakah dirinya sepakat ketika pemerintah melarang atau membatasi bacaan buku yang beredar, ia turut prihatin. 

“Pembatasan bacaan buku itu konyol. Itu menyesatkan. Seperti contoh yang seringkali dibahas itu soal pelarangan marxisme. Padahal studi analisis terutama ekonomi dan politik kita akan tumpul kalo tidak membaca karya-karya Karl Marx. Karena memang Karl Marx adalah salah seorang filsuf yang penting untuk menelanjangi abad yang sekarang kita jalani. Jadi kalo ada pembatasan buku akan membuat publik jadi hambar,” pungkas Dana Gumilar.

Reporter dan Penulis : Khoirul Atfifudin

Sumber gambar : Khoirul Atfifudin

Editor : Alan Dwi Arianto