Yogyakarta, Buana Pers – Jarak antara kampus pusat dan kampus cabang Universitas Mercu Buana Yogyakarta menimbulkan berbagai keluh kesah dari para mahasiswanya. Bagaimana tidak ? keresahan ketika ingin mengurus perihal surat menyurat atau hal hal lain, di masa yang genting masih harus menempuh jarak yang jauh, yang bahkan kadang kala malah menjadi hambatan bagi mahasiswa. 

Kebanyakan masalah yang dirasakan mahasiswa, terkait dengan urus mengurus surat, dan keperluan lainnya yang harus dilakukan di kampus satu (pusat). Hal ini tentu menjadi beban yang cukup  berat bagi mahasiswa. Keresahan ini tidak hanya dikeluhkan pada persoalan urus mengurus saja, tetapi juga terkait akses perpustakaan yang minim, dan fasilitas lainnya yang masih kurang lengkap di kampus cabang. 

Meski memiliki tiga gedung kampus, dimana kampus pusat bertempat di Jl Wates km 10 Yogyakarta ( Kampus 1), kampus cabang di Jl jembatan Merah 84C, Gejayan,Yogyakarta (Kampus 2), dan kampus tiga di Jl. Ring Road Utara, Depok, Sleman, Yogyakarta, tetapi tidak menyediakan fasilitas yang sama pada setiap gedung kampus. Apalagi terkait sistem yang terkadang malah saling dilempar-lemparkan. 

Kampus pusat yang berada di Jl Wates km 10 Yogyakarta seringkali dianggap menjadi simbol unggulan akademik. Dengan menonjolkan fasilitas lengkap, tenaga kerja yang berpengalaman, dan berbagai program studi yang komprehensif. Mahasiswa kampus pusat biasanya mendapatkan akses lebih mudah ke berbagai sumber daya, termasuk perpustakaan. Sementara mahasiswa di kampus cabang mengeluhkan minimnya fasilitas dan akses terhadap sumber daya yang mereka butuhkan untuk belajar. Salah satu mahasiswa, sebut saja Riko, mengatakan bahwa dia dan teman-temannya sering tidak mengikuti seminar dikarenakan seringkali seminar diadakan di kampus pusat, mereka mempertimbangkan jarak dan beban transportasi yang harus dikorbankan. Hal ini kemudian membuat Riko dan teman-temannya sering tidak mengikuti seminar, ditambah lagi dengan mereka  yang memiliki keterbatasan dalam hal finansial.

“Sering tidak ikut seminar yang diadakan di kampus pusat karena menurut Saya biaya pulang pergi saja cukup untuk makan 3 hari, apalagi yang tidak memiliki kendaraan dan terpaksa menggunakan ojek online, pastinya lebih banyak biaya yang harus dikeluarkan” Keluh Riko.

Selain itu, mahasiswa di kampus cabang juga merasa kesulitan untuk berinteraksi dengan staf pengajar dari kampus pusat. Hal ini dikarenakan staf pengajar hanya datang ke kampus cabang beberapa kali dalam seminggu atau sebut saja, hanya datang saat ada kepentingan.

“Kami sulit untuk menemui dosen yang berada di kampus pusat. Jika ingin mengadakan pertemuan secara langsung, Mau tidak mau kami harus bisa menyempatkan waktu ke kampus pusat, untuk bertemu dosen. Ya, walaupun harus mengeluarkan biaya transportasi untuk pulang pergi” Tambah Amanda.

Selain itu, akses perpustakaan yang ada di kampus cabang terbilang sangat minim dan tidak terlalu lengkap, sehingga ketika mahasiswa ingin mencari dan meminjam buku di perpus untuk menunjang pembelajaran, mereka harus menempuh jarak yang jauh ke kampus pusat. 

“Biasanya kalau buku di perpustakaan kampus cabang tidak ada, saya bingung harus pinjam buku dimana akhirnya hanya bisa beli dan itu harganya juga lumayan mahal.  Walaupun terkadang saya ingin coba mencari buku di kampus pusat yang kemungkinan lebih komplit, tapi saya memikirkan jaraknya saja sudah capek” Kata Anggi

Meski demikian, ,mahasiswa kampus pusat dan kampus cabang memiliki pandangan yang beragam. Rina, seorang mahasiswa di kampus cabang menyatakan, “Kami merasa bersyukur bisa kuliah di sini. Namun, kami berharap fasilitas di kampus cabang bisa lebih ditingkatkan.” Di sisi lain, Anton, mahasiswa di kampus pusat mengungkapkan, “Kampus pusat menawarkan banyak peluang, tapi saya melihat teman-teman di kampus cabang juga memiliki potensi besar. Semoga lebih banyak kolaborasi antara kampus pusat dan cabang agar tidak terjadi selisih paham.”

Penulis : Puput Putri Sindi

Editor : Marischa